MATARAM, BL - Pemungutan suara atau pencoblosan Pilkada serentak 2024 sudah selesai, pada Rabu, 27 November 2024.
Sesuai tahapan Pilkada, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara akan berlangsung mulai 27 November – 16 Desember 2024.
Meskipun penghitungan suara masih berlangsung, tapi hasil hitung cepat atau quick count lembaga survei sudah menampakkan pemenang Pilkada 2024.
Pasangan calon atau paslon saling klaim kemenangannya masing-masing. Sebab, hal ini dipicu, selisih antar pasangan calon sangat tipis dan berada di margin error.
Guru Besar FH ISIP, Universitas Mataram (Unram), Prof. Dr. Kurniawan, mengatakan bahwa paslon yang kalah atau tidak menerima hasil Pilkada, diberikan kesempatan untuk mengajuka gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Namun, tidak semua paslon yang kalah bisa melakukan hal itu,” kata Prof. Kurniawan pada wartawan, Senin 2 Desember 2024.
Menurut dia, merujuk UU Pilkada dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Selanjutnya, UU Pilkada Pasal 158 menyebutkan, paslon kepala daerah dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota, apabila memenuhi beberapa ketentuan.
Prof Kurniawan mengatakan, ketentuan persyaratan ke MK adalah terpenuhinya persyaratan selisih suara mulai 2 persen hingga 0,5 persen tergantung dari jumlah penduduk di provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan.
"Dan, untuk Pilkada Provinsi, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan gugatan ke MK. Di antaranya, apabila provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta, maka maksimal selisih suara 2 persen," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa jika provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
Kemudian, provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta hingga 12 juta, maka maksimal selisih suara 1 persen.
“Juga harus memenuhi syarat, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen,” tegas Prof Kurniawan.
Menurut dia, syarat mengajukan gugatan ke MK untuk Pilkada Kabupaten atau Kota, di antaranya kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen.
Kemudian, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu sampai 500 ribu, maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
Sedangkan, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu sampai 1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
“Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta, maka maksimal selisih suara 0,5 persen,” ucap Prof Kurniawan.
Ia menegaskan bahwa, sejarah pilkada sebelumnya tentang sengketa pilkada selain berdampak politik juga sosial.
Karena itu, MK melihat pembatasan gugatan menjadi hal yang penting namun tetap adil baik secara hukum mapun politis.
"Dan untuk Pilgub NTB, kalau saya lihat jika melihat perolehan suara saat ini, agak sulit bisa masuk ke MK. Ini karena paslon yang kalah harus maksimal memiliki selisih suara 1,5 persen," tandas Prof Kurniawan menegaskan. (R/L..).