"Jilbab Ijo" Kunjungi Rumah Putih Kadindi, M-16 : Inspirasi Keragaman dan Kerukunan Sasambo -->

"Jilbab Ijo" Kunjungi Rumah Putih Kadindi, M-16 : Inspirasi Keragaman dan Kerukunan Sasambo

Sabtu, 07 September 2024, Sabtu, September 07, 2024

 

Bacagub Sitti Rohmi Djalilah saat mengunjungi Rumah Putih yang bersejarah Desa Kadindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu.















MATARAM, BL - Calon Gubernur NTB, Sitti Rohmi Djalilah yang identik dengan Ikon Jilbab Ijo  melakukan serangkaian kunjungan sosialisasi ke Pulau Sumbawa, pekan ini.


Ada hal yang menarik, ketika Ummi Rohmi tiba di Desa Kadindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu.


Masyarakat menyambut kedatangan cucu Pahlawan Nasional, Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, ini dengan antusias dan penuh kehangatan.


“Kami sangat bangga, Ummi Rohmi mengunjungi kami di Desa Kadindi ini. Apalagi beliau adalah Wakil Gubernur NTB periode 2018-2023, yang Insya Allah akan menjadi Gubernur NTB di periode selanjutnya 2024-2029,” kata seorang ibu rumah tangga , warga Desa Kadindi induk yang mengidolakan Jilbab Ijo.


Tampak ratusan warga  Desa Kadunditerlihat sumringah menerima kunjungan Jilbab Ijo, figur pemimpin perempuan yang mereka kagumi.


Salah satu warga desa itu , sebut saja bernama  Mas Pop  mengaku, nama Ummi Rohmi yang identik dengan Jilbab Ijo melekat di hati kaum perempuan di Desa itu, salah satunya karena Program NTB Zero Waste dan Posyandu Keluarga yang diinisiasi Ummi Rohmi saat menjadi Wakil Gubernur NTB.


“Tentu kami berharap, program dan inovasi Ummi Rohmi akan berlanjut dan lebih ditingkatkan jika beliau memimpin NTB ke depan,” kata Mas Pop.


Lembaga Kajian Sosial dan Politik NTB, M-16 menilai kunjungan Jilbab Ijo ke Rumah Putih di Desa Kadindi itu punya banyak hal yang sangat strategis jika dicermati.


“Bukan sekedar mengejar elektabilitas, tapi kami menilai kunjungan Ummi Rohmi ke Desa Kadindi menjadi representasi bagaimana Ummi Rohmi memperhatikan masyarakat NTB dalam berbagai perspektif. Pesan yang tersirat terutama soal semangat dan etos kerja dan juga pentingnya kebersamaan dalam keberagaman di daerah ini,” jelas Direktur M-16, Bambang Mei Finarwanto.


Ia mengatakan, kedatangan Ummi Rohmi di Desa Kadindi, disambut hangat oleh masyarakat setempat. Tak hanya berdialog dengan masyarakat tetapi juga menyambangi sejumlah lokasi yang memiliki sejarah penting bagi Desa Kadindi. Salah satunya adalah Rumah Putih Desa Kadindi.


“Bangunan Putih yang telah dipugar telah  berdiri sejak tahun 1970 itu menjadi monumen sejarah terbangunnya akulturasi budaya, kerukunan dalam keberagaman kultur Sasambo : Sasak (Lombok), Samawa (Sumbawa), Mbojo (Bima dan Dompu), tiga etnis asli di Provinsi NTB,” ungkap Bambang 


Menurut dia, bangunan Rumah Putih dulunya adalah kediaman Lalu Anggrat, seorang tokoh asal Lombok yang merintis daerah Transmigrasi di Desa Kadindi pada awal 1970-an.


Kini, bangunan itu dikelola masyarakat sebagai museum mini dimana masyarakat pengunjung dan wisatawan bisa melihat sejarah Desa Kadindi, dengan sejumlah benda peninggalannya di rumah putih tersebut.


Ada sebuah lukisan di dinding bagian dalam rumah, yang diyakini sebagai lukisan atau foto Lalu  Anggrat.


“Kata warga setempat, zaman dulu itu belum ada kamera di sini. Pelukis kemudian menggambarkan Datuk Anggrat melalui bayangan beliau yang dipantulkan dengan cahaya lilin. Begitulah lukisan itu tercipta,” papar Bambang 


Dia menilai kunjungan Ummi Rohmi ke Rumah Putih Kadindi sebagai bentuk penghormatan dan empati terhadap kisah sejarah masa lalu bagaimana generasi awal para pelopor / pioneer transmigran asal lombok berjuang dan bertahan hidup/survival untuk membuka lahan.


“Rumah Putih Datu Anggrat menjadi Saksi Sejarah Perjuangan Para Transmigran, termasuk kisah-kisah kemanusiaan yang terjadi untuk dikenang ,” ucap Bambang 


Lebih jauh dikatakannya, bahwa pesan penting yang kami tangkap, dengan  Ummi Rohmi berkunjung ke Rumah Putih  ingin menekankan beberapa motivasi, antara lain Jasmerah : jangan melupakan sejarah.


“Dari rumah putih ini, kita bisa lihat betapa pentingnya pelopor, pionir. Dari daerah yang dulunya orang mungkin enggan tinggal di sini, sekarang Kadindi malah bisa menjadi destinasi wisata. Bukan hanya karena potensi SDA saja, tetapi juga keragaman kultur budayanya dan kerukunan Sasambo. Genzy dan millenialNTB bisa meniru banyak contoh baik dari Desa Kadindi,” papar Bambang.


Lebih lanjut diakuinya, kunjungan Jilbab  ke Rumah Putih di Desa Kadindi mencerminkan empati dan kepedulian Ummi Rohmi terhadap jasa para perintis Transmigran asal Lombok yang penuh suka duka dan perjuangan yang keras untuk survive sehingga Desa Kadindi bisa seperti saat ini.


“Yang menarik, dalam kunjungannya ke Rumah Putih Desa Kadindi, Hj Sitti Rohmi Djalillah juga menerima cindera mata berupa sebuah buku “Sejarah Kadindi” secara simbolis oleh perwakilan pemuda dan pemudi di Desa itu,” kata Bambang.


Buku “Sejarah Kadindi dari masa Kesultanan Tambora hingga Pasca Transmigrasi” itu mengupas sejarah kawasan Kadindi di masa lampu. Era transmigrasi di tahun 1970an dan juga tentang sejarah monumen Rumah Putih Kadindi.


Buku terbitan diomedia ini ditulis oleh sejumlah penulis seperti Suparman HMT, SPd., Moh. Zalhairi, MLi., Karyani, M.Pd., Zainuddin, A.Ma., dan Arya Al Kautsar S.Pd.


“Tentu saja Ummi Rohmi mengapresiasi buku Sejarah Kadindi tersebut dan berharap generasi muda bisa menggali sejarah Kadindi dari buku itu,” jelasnya.


Lebih jauh Didu mengatakan, dalam buku Sejarah Kadindi dari ke sultanan tambora hingga paska transmigrasi ( 2023 )  diceritakan,  bagaimana awal keberadaan kawasan Kadindi, kemudian zaman Kesultanan Tambora, hingga meletusnya Gunung Tambora.


Secara etimologis, nama Desa Kadindi tidak berasal dari fakta geografis keberadaan gunung yang dianggap sebagai dinding karena nama tersebut telah dipakai pada masa kesultanan tambora jauh sebelum letusan gunung tambora , tahun 1815 M.


“Sementara itu secara topografis, Desa Kadindi dikelilingi oleh gunung dan perbukitan seperti Gunung Tambora,” imbuh Bambang 


Ia mengatakan bahwa masyarakat disana meyakini, punggung Doro Kandindi atau gunung Kadindi itulah yang menyelamatkan kawasan ini dari letusan maha dahsyat Gunung Tambora pada 15 April 1815 silam. Sebuah bencana alam, yang membawa kesuburan untuk kawasan ini dalam kurun puluhan dekade setelahnya.


Sementara itu, Pemerintah Desa Kadindi dalam situs resminya menuliskan, nama Desa Kadindi berasal dari kata Cadinding atau Kadinding.


“Setelah Tambora menghanguskan bumi permai ini, semuanya musnah sudah. Kita patut bersyukur, sujud dalam khusyuk, dibentangkan Doro yang tinggi lagi luas.


Gunung yang dipercaya sebagai dinding, mendindingi, melindungi dari ganasnya aliran lahar, lengkap dengan lava dan magma mematikan,” tulis situs Pemdes Kadindi.


Bumi subur Kadindi juga mencatat banyak sejarah masa lampau. Misalnya, ada benang merah sejarah antara Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Tambora, dan juga Kerajaan Pekat dimana wilayah Kadindi masuk di dalamnya.


Hubungan dagang antara orang Bugis-Makassar dengan orang Tambora dan Pekat sudah terjalin Sejak Abad ke-15.


Hingga, Spellman seorang perwakilan VOC di Makassar mencatat bahwa pada sekitar tahun 1687 di Tambora terdapat beberapa kampong antara lain, Cadinding, Canceeloe, Baraboen, Wawo, Lawasa, Papoenti, Laleekan, Saleepe, Sakeewij, Laewong, Waro, Tanga, Soekon, Toewij, Tompo, caomom dimana Kadindi termasuk di dalamnya.


Pasca amukan maha dasyat Gunung Tambora, kawasan Kadindi mulai dihuni dengan arus perpindahan kelompok masyarakat dari Wera Mbojo karena gagal panen dan ketidakmampuannya membayar pajak di masa kolonial.


“Kelompok masyarakat ini tawakal berjalan kaki dari lading mereka, naik gunung, turun lembah menelusuri jalur pantai Ho’do sampai ke Pekat dan Nangamiro,” demikian situs Pemdes Kadindi.


Di era kemerdekaan, Kadindi terus berkembang dengan potensi pertanian dan perkebunannya. Namun, walau kaya sumber daya air, masyarakat setempat kesulitan membangun bendungan sederhana dan irigasinya atau disebut Raba Sasa.


“Kendala terus muncul yang diakibatkan kurang pengalaman masyarakat dalam perihal pengolahan irigasi. Hal inilah yang memicu masyarakat mengusulkan orang dari luar untuk dapat membantu  menyelesaikan pekerjaan mereka. Dan masyarakat pulau Lombok pada akhirnya membentuk transmigrasi. Dengan kedatangan saudara dari Lombok ini lah akhirnya Desa Nangamiro mengalami pemekaran dan terbentuk desa Kadindi yang mengambil nama dari gunung Kadindi yang artinya terdindingi,” dikutip dari situs Pemdes Kadindi.


Era transmigrasi lokal di masa kepemimpinan Gubernur NTB H Raden Wasitah Kusuma, diyakini turut membentuk akulturasi budaya di Desa Kadindi.


Sebagian masyarakat juga meyakini bahwa  nama Desa Kadindi bisa pula diartikan sebagai bukit penyesalan. Ihwal ini bermula dari masa transmigran lokal dari Lombok yang merintis kawasan di era 1970-an.


Junanda Febrian dalam tulisannya : Kadindi, Tiga Ras, Budaya, Tradisi, Hidup Bahagia di Satu Desa, menukil kisah awalnya.


Masyarakat meyakini nama Kadindi berasal kata Kadin dan Ndih, dalam bahasa Sasak Lombok yang berarti di coba saja, sebuah frasa sebagai wujud penyesalan.


Sebab, dari sekitar 400-an keluarga transmigran dari Lombok Tengah dan Lombok Timur yang dibawa Datuk Anggrat pada tahun 1970, tak semuanya betah dan mampu bertahan hidup di kawasan. Sebab, saat itu masih berupa hutan belantara, sehingga sebagian dari mereka memilih pulang ke kampung halaman.


Namun, Datuk Anggrat dan beberapa keluarga lainnya tetap bertahan dan menetap di sana, dan membangun desa ini sehingga menjadi desa yang subur dan makmur.


“Beliau kami sering sebut dengan Datuk Anggrat. Datuk Anggrat adalah orang yang membangun desa kadindi ini. Sehingga beliau sangat terkenal di masyarakat,” ujar Junanda Febrian yang juga warga Desa Kadindi.



*Sejarah dan Hikayat Rumah Putih


Menurutnya, masyarakat setempat meyakini Datuk Anggrat semasa hidupnya apabila ingin berkelana dan berpergian menggunakan atau mengendarai seekor naga.


“Tapi itu mungkin hikayat, hanya untuk menyemangati generasi muda bahwa sebuah keberhasilan itu tidak ada yang instan. Harus diraih dengan tekad dan perjuangan,” katanya.


Transmigrasi lokal di tahun 1970an akhirnya melahirkan akulturasi budaya Sasambo di Desa Kadindi hingga saat ini.


Atraksi seni dan budaya Sasambo selalu digelar setiap tanggal 7 Juli atau bertepatan dengan peringatan hari jadi Desa Kadindi.


“Saat perayaan HUT Desa Kadindi, pasti digelar pawai seni budaya Sasambo. Disaat itu orang- orang akan menggunakan baju adatnya masing -masing dan memperkenalkan kebudayaannya masing-masing. Ini sebuah cermin kerukunan masyarakt Sasambo NTB,” katanya.


Akulturasi budaya di Desa Kadindi masih terawat dan terjaga, setidaknya tercermin dari tradisi pernikahannya: tradisi Nyongkolan (Sasak Lombok), Wa’a Co’i (Mbojo), dan Sorong Serah (Sumbawa).



*Pesan Jilbab Ijo dari Kadindi


Bambang Mei, mengatakan, harus diakui lawatan Calon Gubernur Sitti Rohmi Djalillah ke desa Kadindi  seperti menyebarkan sebuah pesan, bahwa kerukunan dalam keberagaman di Desa Kadindi bisa menjadi etalase bagi generasi muda di NTB untuk terus memupuk rasa persaudaraan dan kebersamaan, bahkan di era globalisasi yang penuh tantangan dan persaingan.


“Sebagai pemimpin NTB ke depan, Jilbab Ijo lewat kebijakan populisnya akan mampu mengelola potensi SDA dan kerukunan masyarakat. Apa yang ada  di Desa Kadindi bisa menjadi contoh baik untuk Desa lainnya baik di Lombok dan Sumbawa,” katanya.


Apalagi, selain keberagaman kultur budaya, Desa Kadindi juga mendapat berkah kesuburan tanah yang membuat kawasan ini maju dengan potensi kehutanan, perkebunan, dan pertaniannya.


“Point paling penting yang bisa kita tangkap dalam kunjungan ke Rumah Putih Kadindi, Ummi Rohmi ingin menegaskan bahwasannya sebagai pemimpin NTB ke depan, Rohmi – Firin akan mengelola segala potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerah inidengan baik, semata mata untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat NTB,” tandas Bambang. (R/L..).


TerPopuler