Tangan Dingin Arif Wachjunadi Bedah Sejarah Perjalanan Polri Melalui Buku Pearl Harbor Hiroshima Nagasaki -->

Tangan Dingin Arif Wachjunadi Bedah Sejarah Perjalanan Polri Melalui Buku Pearl Harbor Hiroshima Nagasaki

Minggu, 11 Agustus 2024, Minggu, Agustus 11, 2024

 

Komjen Pol (Purnawirawan) Arif Wachjunadi saat melakukan eksplorasi ke negara Jepang untuk menyusun buku karangannya. 
















MATARAM, BL - Peringatan hari juang Polri yang dirayakan serentak pada 21 Agustus 2024 mendatang, tidak lepas dari tangan dingin Mantan Kapolda Bali dan NTB, Komjen Pol (Purnawirawan) Arif Wachjunadi. 


Itu menyusul, selama 14 tahun lamanya saat Arif menjabat Kapolda NTB, ia sudah melakukan  berbagai penelitian dan dorongan agar Hari juang tersebut dapat diperingati setiap tanggal 21 Agustus untuk melengkapi perayaan Hari Bhayangkara pada 1 Juli.  


Tercatat, dalam buku pertama berjudul Pearl Harbour Hiroshima Nagasaki (jejak perjalanan perjuangan Polri) setebal 372 halaman tersebut, perjalanan Polri dari masa ke masa. Bahkan, sejak Indonesia berada dalam pusaran perang pasifik ketika berkobarnya Perang Dunia Kedua, dibedah secara komprehensif dan detail.


Selanjutnya, buku kedua Hari Juang Polri setebal 138 halaman. 


Komjen Pol (Purnawirawan) Arif Wachjunadi mengatakan penerbitan buku yang ditulisnya tersebut tidak lain adalah buah kecintaannya pada institusi Polri yang telah membesarkan dirinya selama 34 tahun sejak tahun 1984 hingga purna tugas pada tahun 2018 lalu. 


"Banyak pengalaman dan catatan penting bagi saya, khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan institusi Bhayangkara ini," ujar Arif pada BERITA LOMBOK, Minggu 11 Agustus 2024.


Menurut dia, ada sejumlah tantangan saat dirinya menulis soal kisah dan perjalanan Polri. Itu menyusul, bicara buku tentunya akan bicara soal sejarah. Sementara, di sisi lain justru, tidak semua orang tertarik membaca sejarah.


Karena itu, Mantan Asisten Asrena Kapolri ini,  tidak menarik garis tentang perjalanan Polri mulai pada masa Kerajaan Majapahit, melainkan  ia memulainya dari berkobarnya Perang Pasifik yang mendorong Jepang pertama kali masuk ke Indonesia. 


"Di masa inilah, atas nama kepentingan pemerintahan Jepang, pemuda-pemuda Indonesia mulai mendapat didikan secara profesional sebagai seorang Polisi. Inilah kali pertama anak-anak pribumi dengan bekal pendidikan formal Kepolisian menjadi pengawal kamtibmas di negerinya sendiri," ungkap Arif. 


Dikatakannya, bahwa Perang Pasifik dengan masuknya Jepang pertama kali ke Indonesia, para anak muda di Indonesia tidak saja hanya diberi keahlian dan pelatihan militer.


Namun, Polisi pribumi juga  ikut mengangkat senjata dalam merebut kemerdekaan. Hingga akhirnya mereka bak busur melesat berbalik menjadi ‘senjata makan tuan’ bagi Jepang yang kejam kala itu. 


Kisahnya, lanjut Arif, begitu heroik dalam perjuangan yang berkobar di Surabaya, dimulai dari Proklamasi Polisi Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus 1945, lalu penyerbuan kantor pertahanan Jepang (Kempetai Surabaya) hingga gerilya dan pertempuran 10 November 1945 serta kisah-kisah perjuangan lainnya. 


"Inilah mengapa saya memulainya dari Perang Pasifik dan berlanjut pada peristiwa-peristiwa lain yang mendorong bangkitnya semangat nasionalisme dari Polisi-polisi pribumi yang menjadi salah satu bagian penting di masa revolusi fisik tersebut," jelas dia. 


Lebih lanjut dikatakannya bahwa menyajikan  tulisan yang berkaitan dengan sejarah, tentulah membutuhkan ketelitian dan detilisasi dalam mengungkapkannya. 


Karena itulah, Arif mengaku tidak berhenti melakukan berbagai riset (penelitian), baik pustaka maupun lapangan dengan mendatangi langsung tempat-tempat yang menyimpan sejarah perjalanan Polri.


Bahkan, kata dia, sampai pada tempat di mana peristiwa demi peristiwa yang menjadi cikal bakal embrio hadirnya Polri, seperti Pearl Harbor (Pelabuhan Mutiara) di Hawaii. 


"Tidak kurang dari 10 tahun (2013-2023), penelitian mendalam saya lakukan. Penelitian literatur pada arsip dokumen lama berupa surat kabar-surat kabar lama dan majalah terbitan sekitar mulai tahun 1939 di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan arsiparsip berkaitan dengan Polri yang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia. Selain itu, berbagai literatur lainnya memperkaya tulisan ini," papar Arif. 


"Ini saja tidak cukup, saya lalu menggelar sarasehan di Surabaya untuk menelusuri peran Polisi Istimewa dalam peristiwa Hari Pahlawan. Sarasehan ini dihadiri oleh sejarawan dan para veteran Polisi Istimewa dan Mobrig yang masih hidup di kota ini," sambung dia.



Arif Wachjunadi saat melakukan penelusuran dokumen Tokubetsu Keisatsutai di Perpustakaan Nasional, Tokyo Jepang dan di National Showa Memorial Museum (Showa Kan) di Tokyo Jepang. 




Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengaku bahwa dirinya mengapresiasi penerbitan buku karya Arif Wachjunadi tersebut. 


Sebab, Arif menuliskan buku tersebut menggunakan teori komprehensif yang diiringi dengan riset pustaka dan studi lapangan, sehingga mampu menyajikan informasi yang utuh disertai penjelasan dan analisa terperinci.


"Jadi, Hari Juang Polri yang diperingati setiap tanggal 21 Agustus, bukan ujug-ujug tapi ada ada dasar dan landasannya. Pak Arif mampu  mengurainya dengan detail dan komprehensif," tegas Listyo Sigit dalam pesan tertulisnya. 


"Semoga buku ini dapat menjadi sumber bacaan yang edukatif bagi seluruh personel Polri dan masyarakat dalam membuka cakrawala tentang sejarah Polri," sambung Kapolri. 


Terpisah Ketua MPR RI RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan bahwa buku karya Komjen Pol (purn) Arif Wachjunaidi ini mengungkap latar belakang dan kisah kelahiran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).


Menurut dia, mendalami buku tersebut, siapapun akan bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai awal mula kelahiran Polri, yang ternyata cikal bakalnya sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. 


Jika dirunut, bahkan dimulai dari sejarah penyerangan pangkalan laut Amerika Serikat, Pearl Harbor, oleh Jepang pada 7 Desember 1941," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya.


Menurutnya, pengetahuan tentang sejarah Polri sangat penting untuk diketahui dan dipahami oleh seluruh personel Polri. Untuk itu Bamsoet mengatakan tidak berlebihan kiranya jika ia menilai buku ini sebagai salah satu bacaan wajib bagi siswa yang sedang menempuh pendidikan untuk menjadi polisi.


Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan sosok Komjen Pol (purn) Arif Wachjunaidi sudah lama terkenal sebagai salah satu jenderal intelektual terbaik yang dimiliki Polri. Bamsoet menilai hal tersebut tidak mengherankan karena selama berkarier di kepolisian Arif pernah mengemban berbagai amanah jabatan.


Adapun jabatan tersebut antara lain Analisis Kebijakan Utama Bidang Kurikulum Lemdiklat Polri (2018), Sekretaris Utama Lemhanas (2016), Asrena Kapolri (2015), Asops Kapolri (2013), Kapolda Bali (2012), Sahlisospol Kapolri (2012), dan Kapolda NTB (2009).


"Berbagai buku telah ia lahirkan, antara lain 2.7 Model of Leader Character (2013), Awali dengan Senyum (2013), Blue Table Management (2013), Soft Power Penegakan Hukum di Sanolo Bolo Bima (2012), dan Menyapa dengan Budaya (2011)," jelas Bamsoet.


Lebih lanjut dikatakan Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini, tidak heran jika dalam penulisan buku 'Pearl Harbor Hiroshima Nagasaki. Kepolisian negara RI' termuat banyak fakta dan data yang sangat kuat. 


Ia pun mengungkap buku ini mengulas tiga peristiwa penting tentang kapan dan dari mana Polri lahir yakni bermula dari rangkaian sejarah dalam tiga tanggal 'keramat' antara lain 19 Agustus 1945, 21 Agustus 1945, hingga 1 Juli 1946.


"Sebagai intelektual, Komjen Pol (purn) Arif Wachjunaidi menilai tanggal 21 Agustus 1945 yang merupakan momentum proklamasi Polri sebagai Polisi Nasional, sangat layak dijadikan sebagai dasar Hari Kepolisian Nasional. Ia juga menyertakan delapan fakta sejarah sebagai penguat argumennya," ungkap Bamsoet.


Kendati demikian, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menyampaikan penilaian tersebut berbeda dengan keputusan pemerintah melalui Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD Tahun 1946 yang ditandatangani Presiden Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono pada 25 Juni 1946. 


Diketahui, putusan tersebut menetapkan Hari Bhayangkara atau Hari Kepolisian Nasional diperingati setiap 1 Juli yang didasarkan pada peristiwa terpisahnya Polri dari Kejaksaan Agung dan Kementerian Dalam Negeri hingga menjadi jawatan tersendiri yang berada langsung di bawah Perdana Menteri.


"Perbedaan pandangan ini tidak perlu dipertentangkan. Justru sangat menarik karena bisa dijadikan sebagai bahan penelitian lebih lanjut. Sehingga mengundang lebih banyak intelektual untuk menggali lebih dalam tentang kapan dan di mana jejak perjalanan Polri bermula. Dengan demikian semakin menambah kekayaan khazanah ilmu pengetahuan bangsa tentang kepolisian," tandas Bamsoet. (R/L..).

TerPopuler