LOTENG, BL - Kemajuan informasi, teknologi militer, teknologi industri, akan berdampak melahirkan beragam masalah sosial kehidupan umat manusia yang semakin kompleks.
Untuk itu, program Halaqoh Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren (Ponpes) Nahdlatul Ulama (NU) sebagai big idea (ide besar) dalam membangun kultur pesantren yang adaptif perlu dilakukan.
Sebab, kemelekan untuk meninjau ulang atas hukum keagamaan terhadap peristiwa yang baru di tengah masyarakat yang kini terus terjadi pergeseran waktu, akan berdampak pada bergesernya tata laku kehidupan umat manusia.
Ketua PWNU NTB Prof Masnun Tahir, mengatakan Halaqoh Fiqih Peradaban kali ini berlangsung di Ponpes Shautul Mushannif Ten-Ten Lauk, Desa Bujak Kabupaten Lombok Tengah (Loteng), Jumat, 15 Desember 2023.
Di mana, tema yang diambil adalah Dunia Islam dan Realitas Geo-Politik Global Kontemporer. Sedangkan peserta yang mengikuti halaqoh kali ini, sebanyak 100 orang peserta yang terdiri dari perwakilan, MWCNU, Ranting, Ponpes, dan lintas ormas Islam.
"Untuk narasumber utama adalah Dr. KH. Hodri Ariev selaku Ketua RMI PBNU, Prof. Dr. TGH. Masnun Tahir selaku Ketua PWNU NTB, Dr. H. Ahmad Muhasim selaku moderator 2, dan Ustadah Rohana selaku moderator 1," ujar Prof Masnun,
Menurut Prof Masnun, narasi "Fiqh Peradaban" yang digagas oleh PBNU pada dasarnya adalah gerakan pemikiran keagamaan, dan gerakan sosial politik dalam membangun masyarakat hadhari, madani. Serta, good civil society.
"Fiqh Peradaban merupakan hasil dialektika antara pesan-pesan samawi dengan kondisi aktual bumi (duniawi), sehingga bersifat teo-antroposentris. Melibatkan komponen jiwa, akal, dan raga untuk menelaah segala bentuk masalah yang berkembang di masyarakat," ungkap dia.
Lebih lanjut Prof Masnun katakan, pada esensinya Fiqh peradaban merupakan integrasi dari diskursus keagamaan, sains, sosial humaniora untuk merespon persoalan sosial keagamaan dan kemanusiaan (humanitarian) kekinian (kedisinian) atau sering disebut sebagai era kontemporer.
Sementara itu, Ketua RMI PBNU, KH. Hodri Ariev, mengatakan bahwa agenda Fiqih Peradaban yang digagas oleh PBNU merupakan diskursus dalam melihat perkembangan masalah, yang kemudian dalam pandangan hukumnya membutuhkan kajian teks, dan konteks.
Menurut dia, bahwa ada tiga peradaban yang pernah berkembang dalam dunia Islam. Pertama adalah Peradaban Kematian (al hadlaratul maut) ketika masanya Nabi Musa dan Fir'aun.
Di mana, dalam sejarahnya pernah berkembang satu narasi tentang "kehidupan pasca kematian", yang menganggap bahwa rumah tempat disemayamkannya "jasad", semakin bagus maka dianggap hidupnya semakin baik.
Kedua, Peradaban Akal (hadlarah al aql). Di mana, manusia membedakan baik, dan buruk berdasarkan akal rasionalitas.
Hal inilah yang terjadi dibelahan dunia barat. Yakni, anggapan mereka tentang akal manusia adalah salah satu kunci mempertimbangkan nilai kebaikan.
"Dan ini seringkali menganggap teks ajaran agama sebagai bagian dari "kebuntuan berfikir"," ucap KH. Hodri.
Selanjutnya ketiga, adalah peradaban teks (hadlarah al nash). Di mana, peradaban teks yang menjadikan sumber rujukan atas segala sesuatu berdasarkan ajaran teks para Nabi, ulama, auliya', dan kiai sebagai turos yang harus dijaga, dihidupkan.
Termasuk, di kalangan Pondok Pesantren, demi menjaga great tradition (tradisi besar) para ulama Islam terdahulu. Karena bagaimanapun sanad keilmuan itu penting menjadi pijakan berfikir, dan berbicara tentang sebuah masalah.
"Kata ulama, jikalau ilmu tanpa sanad, maka orang lain akan bicara semaunya. Di sini, esensinya bahwa "Halaqah Fiqih Peradaban" akan memberikan nilai penting dalam ijtima' (berkumpul), kemudian melahirkan ta'aruf (perkenalan), kemudian ta'alum (berbicara berdiskusi), dan kemudian melahirkan gagasan besar yang dapat di-targhib (diceritakan) kepada umat," tandas KH. Hodri. (R/L..).