FOTO. Suasana sidang lanjutan perkara ITE aktivis NTB, M Fihirudin |
MATARAM, BL - Ahli pidana Syamsul Hidayat SH., MH., menyatakan pendapat bahwa secara objektif dan ideal seharusnya terdakwa M Fihirudin divonis bebas.
Hal ini disampaikan Syamsul dalam sidang lanjutan perkara ITE aktivis NTB, M Fihirudin, Rabu 31 Mei 2023 di Pengadilan Negeri Mataram.
"Kalau (pengadilan) objektif harusnya bebas. Karena mau digali dari sisi manapun nggak masuk. Fihir bertanya hukan tanpa hak, dia berhak sebagai LSM sebagai masyarakat sipil," kata Syamsul.
Dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Ketua Kelik Trimargo SH MH didampingi Mukhlassuddin SH MH dan Irlina SH MH, itu Syamsul Hidayat menegaskan, pasal 14 dan 15 UU No 1 1946 atau KUHP yang didakwakan pada Fihir adalah keliru dan tidak tepat.
"Penerapan pasal 14 dan 15 untuk kasus Fihir ini tidak relevan, dan keliru. Karena pasal 14 dan 15 ini berkaitan dengan ketertiban umum dalam konteks negara, nasional, bukan delik penguasa umum," ujarnya.
Syamsul mengatakan, konteks "keonaran" dalam pasal tersebut juga harus berdampak besar, melibatkan penduduk atau massa yang banyak, dan ada dampak kerusakan sampai pembakaran.
"Keonaran itu tidak sembarangan. Harus lebih hebat dari kegelisahan dan kegoncangan. Misalnya dia tidak setuju akan sesuatu, lalu mengamuk dan melakukan perusakan atau pembakaran, dan sifatnya pun massal. Sehinga menurut kami penerapan pasal 14 dan 15 ini keliru," tegasnya.
Akademisi Universitas Mataram ini juga menilai penerapan pasal 14 dan 15 KUHP sebagai pasal tambahan kasus ITE Fihirudin, sudah menyalahi teori hukum.
Dipaparkan, dalam teori concursus, sebuah perbuatan hukum yang dijerat dengan UU khusus atau lex specialist dan umum, harusnya yang digunakan adalah yang khusus. Sehingga ia menilai dalam kasus Fihir, hanya bisa diterapkan UU ITE, tanpa UU Nomor 1 Tahun 1946.
"Dalam concursus teori ideal, terhadap satu perbuatan yang sifat umum dan khusus, maka yang khusus yang digunakan. Kalau satu perbuatan yang sifat umum dan umum maka, umum yang paling berat ancaman pidananya yang digunakan. Jadi jelas pasal 14 dan 15 dalam perkara Fihir ini, adalah keliru," tegasnya.
Hakim Ketua Kelik Trimargo SH MH menanyakan, apakah "keonaran" dimaksud harus terjadi dan bukan hanya potensi, Syamsul menegaskan, harus sudah berdampak.
"Sementara dalam kasus Fihir, keonaran itu tak pernah terjadi," ujarnya.
Syamsul menilai, kasus Fihir terkesan dipaksakan. Hal ini juga yang menurutnya membuat kasus ini menarik untuk diatensi.
"Kasus ini termasuk yang paling unik. Tidak penuhi unsur pidana tapi terkesan dipaksakan naik. Padahal ini berawal dari pertanyaan bukan berita atau kabar yang disiarkan," katanya.
Dalam sidang, Fihirudin hadir didampingi tim PH antara lain M. Ikhwan, S.H.,MH, Suaedin, SH, Muh. Salahuddin,SH ,MH, Endri Susanto.,SH.,MH, Yan Mangandar SH, dan Eva Zaenora, SH.
Sidang lanjutan juga menghadirkan saksi fakta Syamsul Hadi.
Dalam kesaksianya Syamsul Hadi menerangkan kronologi postingan kabar angin di grup WA Pojok NTB.
"Saya tekankan sejak kapan lembaga DPR berkaitan dengan SARA?. Lagi pula Fihir cuma bertanya," katanya.
Menurut Syamsul, dirinya juga heran kenapa postingan Fihir berakhir dengan somasi dan laporan hukum.
Dijumpai usai sidang, Ketua Tim PH Fihirudin, M Ikhwan SH MH menegaskan, kesaksian duo Syamsul bakal menjadi kunci bebasnya Fihir dan kasus ini.
"Dari kesaksian duo Syamsul ini, kami semakin yakin kesimpulannya Fihir InsyaAllah bebas," tandas Ikhwan. (R/L..).