FOTO. H. Najamuddin Mustafa |
MATARAM, BL - Pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri soal modus korupsi pokir dan dana hibah di kalangan DPRD terus mendapat respons dari kalangan wakil rakyat di NTB. Setelah Ruslan Turmuzi, kini giliran Anggota DPRD NTB dari Fraksi Partai Amanat Nasional TGH Najamuddin Mustafa yang bicara blak-blakan.
Kepada media, kemarin (3/4), politisi asal Lombok Timur tersebut menegaskan, aparat penegak hukum, termasuk dalam hal ini KPK, sepatutnya memang turun tangan.
Dia menegaskan, sesungguhnya program pokir adalah program yang sah. Pokir Anggota DPRD adalah amanat Undang-Undang. Program ini memiliki landasan hukum yang kokoh. Mulai dari pasal 29 UU 23/2014 yang mengatur fungsi DPRD. Lalu juga Peraturan Pemerintah No 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang dalam pasal 54 secara terang mengamanatkan atau memerintahkan Badan Anggaran DPRD harus memberikan saran dan pendapat berupa pokok pikiran DPRD.
Banggar diharuskan langsung memberikan saran kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD. Sebelum Peraturan Kepala Daerah tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah ditetapkan. Dan hal tersebut, persis sama dengan bunyi pasal 77 Peraturan DPRD Provinsi NTB Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib DPRD Provinsi NTB, dan menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap wakil rakyat. Namun, sebagai bagian dari program dalam APBD, Pokir tersebut bukanlah dijalankan oleh anggota dewan. Melainkan langsung oleh Organisasi Perangkat Daerah terkait.
Masalahnya kata Najamuddin, terletak pada proses dan pelaksanaan program pokir tersebut. Politisi dari kalangan ulama ini mengemukakan, alokasi penentuan program pokir tersebut jauh dari asas transparansi dan keterbukaan sebagai sebuah prasyarat tata kelola keuangan daerah yang akuntabel.
“Kita Anggota DPRD saja tidak saling tahu siapa dapat berapa. Siapa yang paling banyak, siapa yang paling sedikit. Padahal harusnya prosesnya terbuka,” katanya.
Dia mengemukakan, setiap tahun, ada alokasi sedikitnya Rp 350 miliar yang merupakan program pemerintah yang berasal dari pokir Anggota DPRD. Namun, bagaimana distribusi program tersebut kepada 65 Anggota DPRD, termasuk pimpinan, sepenuhnya kata Najamuddin, dibahas di ruang gelap. Tiba-tiba saja anggota DPRD mendapat alokasi program pokir yang sudah ditetapkan menjadi bagiannya. Belakangan terkuak, bahwa alokasi pokir tersebut tidak sama untuk setiap anggota. Mirisnya, ada anggota yang alokasinya sangat kecil, sementara di sisi lain ada anggota mendapat alokasi pokir jumbo.
“Ini pasti ada dalang yang mengatur-atur seperti ini,” ucap TGH Najam.
Karena itu, secara tegas dia menuding, program pokir yang sah secara aturan, telah menjadi “alat permainan” pimpinan DPRD NTB. TGH Najam melihat, ketidakadilan telah dipertontonkan secara terang benderang dalam hal pembagian program pokir tersebut.
“Saya melihat mereka yang menjadi dalang dan mengatur pembagian program pokir ini sudah menjadikan program ini seperti milik pribadinya. Seenaknya saja, mau kasih siapa yang banyak, siapa yang sedikit,” tandas Anggota Komisi I DPRD NTB ini.
Karena itu, TGH Najam menegaskan, bahwa ada proses yang sangat tidak clear terhadap distribusi dan alokasi program pokir dan dana hibah yang dalam pelaksanaannya disebutnya terindikasi tidak mematuhi aturan hukum. Karena itu, dia sependapat, bahwa sudah waktunya aparat penegak hukum turun tangan.
“Penting untuk diklarifikasi dan dilihat aparat penegak hukum kemana barang barang pokir dan program dana hibah ini,” tandas TGH Najam.
Mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini kemudian memberi contoh. Bagaimana dana hibah dalam jumlah yang besar untuk Ikatan Alumni (IKA) Universitas Mataram di mana Ketua DPRD NTB Hj Bq Isvie Rupaeda menjadi ketua, sangat rentan konflik kepentingan. Pun juga hibah-hibah berupa kendaraan ke sejumpah pondok pesantren di Lombok Timur.
“Sudah banyak contoh ada konspirasi jahat dalam alokasi dana hibah-dana hibah ini. Dulu ada dana hibah bansos Rp 100 juta. Ternyata penerima hanya mendapat Rp 10 juta, sisanya masuk kantong pemberi hibah,” kata TGH Najam memberi contoh. Kasus tersebut pun sempat diproses secara hukum.
TGH Najam menegaskan, dirinya bersuara kritis tentang program pokir dan hibah ini bukan saat ini saja. Melainkan sudah lama disuarakannya. Apa yang disebutnya ketidakadilan dalam pelaksanaan pokir dan hibah, menyebabkan TGH Najam dulu sempat mengusulkan agar program-program pokir di DPRD NTB dibubarkan saja.
Karena sikap kritisnya tersebut, TGH Najam pun menduga, itulah yang melatarbelakangi dirinya diberhentikan dari pimpinan Badan Kehormatan DPRD NTB. Dia antara lain dulu pernah mengusulkan agar perlu ada tata beracara sesuai perintah Tata Tertib DPRD NTB dan Peraturan Pemerintah No 12/2018, dalam hal pembahasan APBD. Sehingga dkoumen KUA-PPAS baru bisa ditandatangani oleh pimpinan DPRD dalam paripurna setelah ada rapat konsolidasi seluruh anggota yang membahas KUA-PPAS tersebut terlebih dahulu.
TGH Najam juga membenarkan, bahwa ada staf yang bernama Ucok yang mengatur dan menghimpun rekapitulasi, distribusi, dan data terkait dana pokir dan dana hibah yang ada di DPRD NTB. Baik yang terkait dengan anggota maupun dengan pimpinan. Saat masih di Badan Kehormatan, TGH Najam pun menuturkan dirinya pernah memanggil Ucok. Pemanggilan tersebut lantaran proyek renovasi ruang kerja Ketua DPRD NTB yang nilainya di atas Rp 200 juta. Namun, proyek renovasi tersebut tidak melalui proses tender namun swakelola, dan rekanan yang bekerja adalah kolega.
“Saya ribut waktu itu. Ruang kerja Ketua DPRD NTB itu sekarang mewah layaknya ruang kerja presiden. Biaya renovasinya lebih dari Rp 600 juta. Tapi itu tidak ditender. Tapi swakelola,” ungkap TGH Najam.
Karena itu, TGH Najam pun ingin agar proses pengadaan barang dan jasa di APBD NTB ditelisik aparat penegak hukum. Tidak cukup setahun. Namun dia mengusulkan agar ditelisik dari tahun 2019. Mumpung kata TGH Najam, tahun 2023 ini menjadi tahun terakhir periode lima tahun kepemimpinan Gubernur NTB.
*Sumber Kesemrawutan
Pada kesempatan yang sama, TGH Najam juga blak-blakan terkait kinerja DPRD NTB selama ini. Dia menyebut sejumlah proyek pemerintah yang menyita perhatian publik karena bermasalah, atau dibiayai padahal bukan menjadi urusan Pemerintah Provinsi sesuai amanat Undang-Undang. Semua itu juga tak lepas karena andil DPRD NTB yang telah menyetujui proyek tersebut dalam APBD.
TGH Najam misalnya memberi contoh proyek irigasi tetes di Lombok Utara dan Sumbawa yang menelan anggaran hingga Rp 25 miliar. Namun, proyek tersebut tidak berhasil. Atau ada proyek percepatan jalan dimana ada anggaran miliaran untuk pembangunan jalan Batu Rotok di Sumbawa, yang mana jalan tersebut bukanlah jalan provinsi sehingga Pemprov NTB membelanjakan anggaran untuk yang bukan kewenangannya. Atau ada anggaran belasan miliar untuk untuk program Zero Waste dengan dana belasan miliar. Urusan sampah, sama sekali bukanlah urusan Pemprov NTB, melainkan menjadi urusan wajib kabupaten/kota. Ada juga program beasiswa yang menelan anggaran puluhan miliar. Juga bukan urusan Pemerintah Provinsi. Apalagi terdapat sejumlah temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan terkait program ini.
Menurut TGH Najam, dirinya tak akan serta merta menyalahkan Gubernur atas kondisi tersebut. Sebab, ada andil besar dari DPRD NTB yang turut memberi persetujuan.
“Kenapa bisa lolos, pimpinan DPRD NTB adalah pihak yang paling patut dimintai pertanggungjawaban,” tandasnya.
TGH Najam pun membuat pengakuan mengejutkan. Bahwa selama ini, APBD NTB rupanya tidak pernah dibahas sebagaimana mestinya di DPRD NTB. Sebab, dirinya menengarai, jauh sebelum KUA-PPAS ditandatangani, sudah ada deal-deal, sehingga APBD bisa mulus mesti kata dia, tak melalui pembahasan sebagaimana mestinya.
“Saya mencurigai ada konspirasi antara pengaju anggaran dan pihak yang menjadi penyetujui anggaran,” ungkapnya seraya menekankan, anggota tidak tahu secara detail isi APBD tiap tahun anggaran.
TGH Najam pun ingin membuka mata publik. Tanda-tandanya disebutnya sangat teramat jelas. Empat tahun terakhir DPRD NTB di bawah kepemimpinan Hj Bq Isvie Rupaeda, tak satu pun ada keputusan DPRD secara kelembagaan terhadap semua persoalan besar di daerah yang menyita perhatian publik. Padahal, harusnya, terhadap semua persoalan tersebut, pimpinan DPRD mestinya segera menugaskan alat kelengkapan DPRD NTB yang terkait secara teknis untuk melakukan kajian dan telaah komprehensif. Sehingga hal tersebut bisa ditindaklanjuti sebagai rekomendasi, atau keputusan DPRD yang ditetapkan dalam rapat paripurna.
Sehingga selama empat tahun terakhir, DPRD dinilainya tidak pernah bekerja. Yang dilakukan DPRD kata TGH Najam, secara umum hanya sebatas menerima gaji, mengurus program pokir, dan kunjungan kerja. Begitu terus berulang. Sehingga terhadap isu-isu besar, tak satu pun ada keputusan resmi DPRD secara kelembagaan.
Sejumlah hal fundamental yang melanggar tata tertib pun kata TGH Najam dibiarkan oleh pimpinan DPRD NTB. Dia memberi contoh. Bahwa setiap Anggota DPRD NTB harus ditugaskan di alat kelengkapan DPRD NTB. Namun, hingga kini, sudah berbulan-bulan, Mori Hanafi tak memiliki komisi di DPRD NTB. Padahal tata tertib DPRD mengatur secara jelas hal tersebut.
“Makanya saya menilai, pucuk pimpinan DPRD NTB memimpin lembaga ini bukan sebagai ketua. Tetapi sebagai kepala dalam birokrasi,” tandas TGH Najam. (R/L..).