FOTO. Lalu Wirajaya |
MATARAM, BL - Anggota Komisi III DPRD NTB bidang Keuangan dan Perbankan, Lalu Wirajaya, menilai langkah Pemprov, dalam membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di kawasan Tiga Gili, yakni Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air, dirasa tepat.
Hanya saja, pembentukan satu UPT baru itu harus disertai dengan kemampuan mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) di salah satu distinasi unggulan pariwisata di Provinsi NTB.
"Ingat, total nilai aset Pemprov NTB di Gili Trawangan saja angkanya sebesar Rp 2,3 triliun. Ini merujuk perhitungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada tahun 2018 lalu, tapi yang masuk ke kas daerah sebagai PAD sangat minim. Maka, kita minta UPT yang baru terbentuk dapat lebih fokus dan serius untuk mengurus hal itu," ujar Wirajaya pada wartawan, Jumat (9/12).
Politisi Partai Gerindra itu mendaku, bahwa dengan telah disetujuinya pembentukan UPT untuk menangani kawasan Tiga Gili di KLU dalam sidang paripurna DPRD NTB beberapa hari lalu, pihaknya mendorong agar Pemprov, mulai fokus untuk melakukan inventarisasi potensi PAD di Gili Trawangan.
Sebab, lanjut dia, ketika kinerjanya baik, fokus dan serius, maka angka peningkatan pendapatan yang ditargetkan sebesar Rp254 miliar di APBD tahun 2023, sangat masuk akal.
"Saya optimis bisa lebih dari angka itu, asalkan sistem yang harus dibangun harus jelas. Selain itu, sumber daya manusianya juga harus sesuai dan mumpuni. Termasuk, sarana dan prasarananya juga harus memadai seperti kantor UPT-nya harus representatif," tegas Wirajaya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN Bidang Pengadaan Tanah, Arie Yuriwin, saat bertemu denganmasyarakat dan pelaku usaha di Gili Trawangan menjelaskan status tanah tersebut.
Menurutnya, para pelaku usaha di Gili Trawangan ke depan harus menjalin perikatan perjanjian kerja sama dengan Pemprov NTB sebagai pemegang Hak Penggunaan Lahan (HPL) yang diberikan oleh pemerintah.
Sebab, di atas lahan dengan status HPL tersebut kata Arie, ke depannya dapat diberikan hak guna bangunan dan hak pakai atas nama pihak ketiga berdasarkan perjanjian pemanfaatan lahan.
"Bahwa atas HPL tersebut pemda juga berhak untuk memungut uang retribusi, uang tahunan untuk pengolahan lahan kepada pihak-pihak yang bekerja sama memanfaatkan lahan ini," kata Arie.
Arie juga memastikan, proses tersebut tidak akan terlalu lama sehubungan dengan pihaknya yang telah memproses usulan dari Gubernur NTB untuk membatalkan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT GTI.
Arie memaparkan, bahwa sejak 1995 telah diterbitkan HGB atas nama PT GTI seluas 650 ribu meter persegi atau 65 hektar dari keseluruhan aset pemprov NTB seluas 750 ribu meter persegi dengan total nilai aset sebesar Rp 2,3 triliun berdasarkan perhitungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada tahun 2018. HGB diterbitkan atas dasar perjanjian kerja sama produksi antara Pemprov NTB dengan PT GTI.
"Seharusnya pemegang HGB ini mempunyai kewajiban mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai apa yang diperjanjikan," ucap dia.
HGB tersebut diberikan untuk masa 30 tahun dan akan berakhir di tahun 2025. Tetapi kata Arie, karena pemegang HGB tidak memanfaatkan dan menggunakan tanah tersebut selama kurang lebih 27 tahun ini, kemudian secara fisik di lapangan terjadi pemanfaatan penggunaan lahan oleh oknum.
"Selama 27 tahun ini ada kerugian negara, karena yang seharusnya uang retribusi dan uang tahunan itu diterima oleh pemda sebagai pendapatan asli daerah, tidak disetorkan," tandas Arie. (R/L..).