FOTO. Bambang Mei Finarwanto
MATARAM, BL - Provinsi Bali, NTB, dan NTT yang berada dalam region Sunda Kecil, diyakini akan memegang peranan penting dan strategis dalam kontestasi Pilpres 2024.
Meski jumlah pemilih di tiga provinsi ini kalah signifikan jika dibanding dengan jumlah pemilih di Pulau Jawa, tapi Region Suda Kecil tetap akan menjadi ajang perebutan legitimasi kawasan bagi setiap kandidat yang bertarung dalam Pilpres 2024.
“Pilpres 2024 bukan hanya soal memenangkan suara terbanyak belaka. Tapi juga soal bagaimana pemenang mendapatkan legitimasi kawasan. Karena itu, gugusan region Sunda Kecil tetap akan menjadi epicentrum pertarungan perebutan dukungan dalam Pilpres 2024,” ujar Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik M-16, Bambang Mei Finarwanto, Minggu (2/10).
Menurut dia, legitimasi adalah hak moral setiap pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Karena itu, setiap kandidat yang bertarung dalam Pilpres selain ingin mendulang suara terbanyak, mereka juga pasti ingin mendapatkan legitimasi yang seluas-luasnya dari berbagai kawasan di Indonesia.
Bambang mendaku, jika menghitung jumlah pemilih, Provinsi Bali, NTB, dan NTT, tentu akan kalah signifikan dibanding jumlah pemilih provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Pada Pemilu 2019, KPU menetapkan Daftar Jumlah Pemilih Tetap (DPT) di NTB misalnya hanya 3.573.096 orang. Jumlah pemilih lebih sedikit terdapat di Bali dengan DPT Pemilu 2019 sebanyak 3.208.249 orang. Sementara di NTT, DPT Pemilu 2019 sebanyak 3.289.174 orang. Artinya, jumlah pemilih di tiga provinsi Sunda Kecil ini hanya 10.070.519 orang.
Jumlah tersebut sangat terpaut jauh jika dibanding dengan jumlah pemilih di satu provinsi di Pulau Jawa. Di Jawa Timur misalnya, pada Pemilu 2019, DPT di sana sebanyak 31.011.960 orang. Sementara jika seluruh pemilih dari enam provinsi di Pulau Jawa dijumlah secara total sebagai satu kawasan, maka jumlah pemilih di pulau terpadat di Indonesia ini berdasarkan DPT Pemilu 2019 sebanyak 110.132.210 orang.
“Karena pentingnya legitimasi sosial politik region inilah, Region Sunda Kecil tetap akan memiliki makna strategis dalam Pilpres 2024, meski punya jumlah pemilih di sini sedikit,” ucap Bambang.
Makna strategis legitimasi sosial politik region ini tidak hanya berlaku pada Pilpres 2024. Namun, juga berlaku pada penyelenggaraan pesta demokrasi tahun-tahun sebelumnya.
Itu sebabnya, lanjut Bambang, dalam Pilpres 2019 misalnya, kandidat seperti, Joko Widodo dan Prabowo Subianto tetap jor-joran mengerahkan tim kampanye nasional mereka untuk merebut simpati pemilih dari NTB, Bali, dan NTT. Publik pun sudah tahu, Jokowi memenangkan suara terbanyak di Bali dan NTT, sementara Prabowo menang sangat signifikan di NTB.
Di sisi lain, NTB, Bali, dan NTT, juga memiliki posisi yang sangat strategis sebagai etalase yang mencerminkan wajah multikulturalisme Indonesia. Tiga provinsi ini kaya dengan keragaman etnis, budaya, dan bahasa yang masih sangat terjaga hingga kini. Pun juga dari sisi agama. Bali menjadi provinsi umat Hindu, NTB dengan umat Muslim, dan NTT dengan umat Nasrani.
Belum lagi, kata Bambang, jika menimbang ketiga provinsi ini merupakan daerah destinasi wisata utama Indonesia karena memiliki tujuan wisata kelas dunia.
Provinsi Bali adalah daerah wisata nomor wahid di Indonesia. Sementara, Provinsi NTB memiliki Mandalika yang menjadi tuan rumah MotoGP, ajang balap motor paling akbar di dunia. Sedangkan , Provinsi NTT memiliki Labuhan Bajo, dengan destinasi wisata Komodo yang merupakan reptil purba satu-satunya di dunia yang masih hidup.
“Karena itu, menjadi hal yang tak mengherankan jika eksotisme Kawasan Sunda Kecil, Khususnya NTB, akan menjadi Palagan perebutan pengaruh dalam Pilpres 2024,” tegas Bambang menyakini.
Secara umum, para pemimpin pemerintahan dari setiap negara pasti berupaya untuk mendapatkan atau mempertahankan Legitimasi Politik bagi kewenangannya.
Setidaknya, terdapat dua alasan yang menjadikan legitimasi begitu penting. Pertama, legitimasi mendatangkan kestabilan politik. Kedua, legitimasi membuka kesempatan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Pengakuan dan dukungan masyarakat yang luas akan menciptakan pemerintahan yang stabil. Dengan begitu, pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat,” jelas Bambang.
Mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua periode ini, mengatakan, legitimasilah yang akan membuka kesempatan yang semakin luas kepada pemerintah bukan hanya untuk memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak diatasi, tapi juga meningkatkan kualitas kesejahteraan tersebut.
Sejarah, ungkap Bambang, telah membuktikan. Jangankan pemerintahan di era demokrasi seperti saat ini. Pemerintahan yang otoriter sekalipun, tetap memerlukan legitimasi dari masyarakat. Akibatnya, berbagai cara pun dilakukan pemerintah yang berkuasa untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi tersebut.
“Sejarah juga membuktikan bahwa Pemilu adalah salah satu jalan untuk meneguhkan legitimasi tersebut,” tandas dia. (R/L..).