MATARAM, BL - Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Agus menilai, bahwa langkah KPU Provinsi NTB yang kini terus melibatkan para stakeholder dalam setiap tahapan Pemilu 2024, merupakan sebuah kemajuan
Terlebih, pemutahiran data pemilih, dipastikan merupakan tahapan penting dalam penyelenggaraan Pemilu.
"Jadi, daftar pemilih itu, memberikan legitimasi kepada masyarakat untuk dapat menggunakan hak pilihnya," tegas Agus pada wartawan, Kamis (8/9).
Tercatat, hingga akhir Agustus 2022 lalu, jumlah pemilih di NTB sesuai pemutahiran data pemilih yang dilakukan KPU setempat, angkanya mencapai sekitar 3,76 juta. Nantinya, angka ini akan terus berubah ke depan sesuai dengan mobilitas penduduk, masuknya usia memilih, dan penyebab lainnya
Agus mendaku, bahwa merujuk UU Pemilu, bahwa syarat warga negara untuk memilih adalah berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara, sudah pernah kawin, dan terdaftar dalam daftar pemilih.
Hanya saja, lanjut dia, jika tidak terdaftar dalam daftar pemilih, maka bisa menggunakan hak pilihnya. Namun diberikan hak pilihnya, setelah semua warga negara terdaftar dalam DPT selesai menggunakan hak pilih.
"Ini artinya, dalam tata kelola Pemilu, syarat primernya terdaftar dulu dalam DPT. Evaluasi saya di Pemilu 2019 banyak pemilih yang berusia 17 tahun dan atau pernah kawin tetapi karena tidak terdaftar dalam DPT mereka tidak mau datang ke TPS, atau datang ke TPS tapi pulang sebelum memilih karena mereka tidak sabar menunggu memilih nanti setelah masyarakat yang terdaftar dalam DPT selesai menggunakan hak pilihnya," jelas Agus.
Menurut dia, kepentingan lain dari daftar pemilih yang valid adalah, daftar pemilih dipergunakan oleh KPU sebagai basis perencanaan pengadaan logistik Pemilu, seperti surat suara.
Tak hanya itu, daftar pemilih juga menjadi basis bagi partai politik dan kandidat untuk membuat perencanaan pemenangan Pemilu dan kampanye.
"Jadi, karena yang terdampak langsung dari kebijakan daftar pemilih, maka partai politik harus dilibatkan sejak awal sebagai stakeholders dalam diskusi tentang daftar pemilih," tegas Agus.
Ia menegaskan, model tata kelola Pemilu yang di sebut good electoral governance melalui cara collaborative governance, merupakan konsep baru pada tata kelola Pemilu yang berbasis transparansi, aksesibilitas, partisipasi, dan akuntabilitas.
"Disini, KPU harus terus membuka diri melibatkan semua pihak yang tergabung dalam stakeholdernya dalam rangka membuat hak pilih masyarakat benar-benar dapat tersalurkan seluruhnya," tandas Agus. (R/L..).