FOTO. Kadis Nakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi (kiri) saat mengalami anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) saat kunjungan kerja ke Provinsi NTB. |
MATARAM, BL - Penanganan PMI tidak hanya menjadi tugas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB. Namun juga perlu lintas sektoral.
Sebab, kuncinya adalah kolaborasi dalam mengedukasi dan mendesiminasi warga agar bisa mengakses kesempatan kerja luar negeri secara benar dan prosedural.
Karena itu, untuk mencegah terjadinya kasus PMI non prosedural, pemerintah perlu secara masif memberikan informasi dan edukasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat.
"Harus ada kolaborasi yang kuat antara Disnaker Provinsi dan Kabupaten Kota, hingga desa dan dusun, melibatkan stakehorlder terkait, yaitu: BP2MI, TNI-Polri, Dinas Sosial, BP3AKB, Imigrasi dan NGO yang konsens terhadap buruh migran indonesia," jelas Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnakertrans) Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, saat menjadi narasumber pada saat Kunjungan kerja dan audiensi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terkait permasalahan kekerasan terhadap perempuan di NTB di Ruang Rapat Anggrek Kantor Gubernur setempat, Jumat (30/9).
Berdasarkan data, PMI prosedural saat ini berjumlah sebanyak 535.000 orang di 108 negara penempatan. Dari jumlah itu, umumnya sekitar 70%, adalah PMI bekerja di negara Malaysia. Selanjutnya, negara-negara Timur Tengah di urutan kedua.
Gede mendaku, dari jumlah tersebut, PMI bermasalah yang ditanganinya pada tahun 2021-2022 ini, sebanyak 1.008 orang. Jumlah tersebut jauh menurun jika dibandingkan jumlah kasus tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puluhan ribu orang.
Hingga September 2022, jumlah kasus yang ditangani sebanyak 881 kasus. Di mana, sekitar 457 kasus dialami oleh perempuan dan kasus terbanyak terjadi di Timur Tengah.
“Penurunan kasus PMI Unprosedural tidak lepas dari adanya program yang dicanangkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur NTB pada tahun 2020, yaitu Zero Unprosedural PMI. Maka, peran stakeholder terkait yang terus melakukan edukasi masif kepada masyarakat tentang bekerja di luar negeri, harus dilakukan,” kata dia.
Menurut Gede, munculnya PMI non prosedural dipicu oleh lima modus. Yakni, PMI ilegal yang direkrut secara ilegal melalui calo. Kedua PMI legal, berangkat secara prosedural, tetapi setelah di negara penempatan melarikan diri dari tempatnya bekerja sehingga menjadi ilegal.
Ketiga, PMI legal tetapi setelah di negara penempatan terlibat kasus kriminal. Keempat, PMI berangkat secara prosedural tetapi saat memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur sehingga menjadi ilegal.
"Dan, terakhir adalah PMI yang memiliki track record tidak bagus, sudah diblack list negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara non prosedural," tegas Gede.
Dalam kesempatan itu. Mantan Kadis Kominfotik NTB itu, menyebutkan bahwa, modus PMI non prosedural juga dipicu karena di sejumlah negara penempatan memberlakukan kebijakan konversi visa.
Karena itu, celah inilah yang dimanfaatkan oleh para calo/tekong. Bahkan, PMI non prosedural biasanya berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umroh atau visa suaka kemudian setibanya di negara penempatan, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut.
“PMI yang berangkat dengan jalur non prosedural tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai, karena semuanya diurus oleh mafia TPPO. Bahkan PMI tersebut tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya,” ungkap Gede
Ia memastikan, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia sudah menerapkan OCS (One Channel System) untuk mengurangi PMI ilegal. Oleh karena itu, saat ini pemerintah Indonesia sedang melakukan uji coba OCS ini di negara penempatan lainnya.
“Kami sedang coba proses rekrutmennya untuk negara penempatan Timur Tengah apakah OCS ini bisa berhasil, terutama untuk sektor domestik,” tandas Gede Putu Aryadi. (R/L..).