*)Anggota Majelis Pertimbangan IKA-PMII Kab. Lombok Utara
Secara regulatif, penyelenggaran Pemilihan Umum serentak 2024 saat ini masih mengaplikasikan dua rezim regulasi terdahulu, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Penyelenggaraan pemilu presiden (Pilpres), pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada tahun yang sama dan maraton tentu menjadi pekerjaan yang berat dan ribet khususnya bagi pengawas pemilu (Bawaslu). Utak atik arah moderat untuk meminimalisir masalah pemilu serentak sebelumnya menjadi pilihan para pengawas.
Pileg dan Pilpres terlebihdahulu akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024, berdasarkan kesepakatan antara penyelengara pemilu serentak dan pemerintah. Hal tersebut menandakan tahapan Pemilu akan dimulai pada bulan Juni 2022 atau 20 bulan sebelum pemungutan suara diselenggarakan.
Selanjutnya Pilkada akan digelar pada tanggal 27 November 2024. Tahapannya dimulai 11 bulan sebelum pemungutan suara berarti jatuh pada Desember 2023 atau 18 bulan dari bulan ini (juni 2022)
Keserentakan Pemilihan Umum 2024 berkonsekuensi terjadi irisan tahapan yang bersamaan. Sehingga akan menjadi jalan terjal tersendiri bagi Bawaslu, ditambah masa pandemi yang belum usai ditambah pada bidang peternakan yang juga tengah berperang melawan virus yang menjangkit sapi akan semakin menambah kerja keras dan kerja berat penyelenggaraan Pemilu.
Bawaslu sebagai garda terdepan pengawasan pemilu setidaknya akan mendapati beberapa tantangan besar dalam pengawasan pemilu 2024. Pertama, soal regulasi dalam kerangka penegakan hukum Pemilu.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal yang mengatur tentang subjek hukum pelanggaran terkesan parsial dan cenderung sulit untuk diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Sebut saja bunyi dalam pasal 523 ayat (1) terkait politik uang (money politic) dimasa kampanye, subjek hukum yang digunakan adalah “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu”. Mereka harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan dibuktikan Surat Keputusan.
Sementara di lapangan, kerap kali kasus pemberian politik uang dipraktekkan oleh relawan atau orang suruhan yang tidak terdaftar dalam Surat Keputusan KPU sebagai pelaksana ataupun tim kampanye. Sehingga dalam penanganan pelanggaran tidak dapat dijerat dengan pasal 523 tersebut.
Tantangan kedua adalah sedikitnya jumlah pengawas ad-hoc di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Seperti, pengawas kelurahan/desa (PKD) yang jumlahnya satu orang. Mereka diharuskan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu dalam satu Desa atau Kelurahan, dimana di setiap Desa ada yang terdapat 20 sampai dengan 30 TPS.
Banyaknya TPS dan luasnya area pengawasan ini yang secara bersamaan juga ditambah dengan beban tugas ketika terjadi pertemuan irisan tahapan antara Pemilu dan Pilkada.
Tantangan yang juga besar bagi pengawas adalah berakhirnya masa jabatan anggota Bawaslu kabupaten/kota pada tanggal 18 agustus 2023. Tersisa 13 Bulan sejak hari ini untuk melakukan semua persiapan sesuai kesepakatan di Tingkat Pusat.
Kondisi ini tentu setidaknya mengganggu psikologis penyelenggaraan pengawasan tahapan- tahapan yang sudah ada, dimana akan terjadi rekrutmen anggota Bawaslu Kabupaten/ Kota di tengah jalan atau bahkan di puncak tahapan Pemilu dan Pilkada Tahun 2024.
Sudah tentu, orang-orang yang akan terpilih adalah mereka yang harus memiliki pengalaman yang kuat serta pengetahuan yang memadai, karena para pengawas dituntut untuk jalan estafet guna melanjutkan tahapan- tahapan yang sudah dimulai.
Selanjutnya, adalah ekosistem politik yang dinamis dan kondisi penganggaran yang kerap direfocusing. Bagi penyelenggara Pemilu khususnya Bawaslu, kontestasi juga menjadi salah satu alat untuk mengukur kerawanan Pemilu terhadap keutuhan demokrasi.
Dasar pengukurannya adalah sejauhmana kesadaran politik dan demokrasi yang tumbuh dalam ekosistem kehidupan bermasyarakat sebuah daerah. Apakah sudah menunjukan kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi, atau hanya cenderung masyarakat yang apatis terhadap politik etik itu sendiri.
Dari sekian masalah tersebut menjadi jalan terjal atau tantangan tersendiri di luar pengawasan tahapan yang dilakukan Bawaslu. Karena Cita KPU juga Cita Bawaslu.
Realitas yang lain juga menunjukkan, politik identitas yang secara massif diartikulasikan secara tekstual semata bagi kelompok tertentu dalam struktur politik. Artinya, memandang secara politis tidak secara demokratis, tentu hal ini akan menimbulkan kegaduhan tataran sosial, yang akan mengganggu berjalannya proses tahapan kepemiluan.
Oleh karenanya, Masyarakat juga harus terlibat dalam Pengawasan Pemilu Serentak 2024, Pelibatan masyarakat dalam sebuah ekosistem politik adalah bagian dari konstitusi, tanggungjawab sosial dan bentuk realitas dari konsep demokrasi itu sendiri.
Bagi Badan Pengawas, indikator partisipasi masyarakat bukan hanya diukur dari kehadirannya di TPS ketika hari pemungutan suara. Namun, masyarakat memiliki hak untuk menjaga kualitas Pemilu dari kecurangan, dan ini adalah ruh dari demokrasi itu sendiri.
Untuk mengatasi persoalan dan tantangan di atas adalah dengan meningkatkan pengawasan partisipatif sebagai upaya serius dalam menjaga kualitas demokrasi pada saat Pemilu.
Sehingga diseminasi dan implementasi program pengawasan partisipatif terus digulirkan, dimodivikasi dan didukung ekstra.
Bentuk nyata dari angan- angan Bawaslu dalam meningkatkan partisipasi pengawasan adalah merevitalisasi dan menghidupkan simpul- simpul dan kearifan lokal yang selama ini telah hidup di masyarakat yang terhimpun dalam ruang komunikasi dan diskusi.
Adapun ruang komunikasi dan diskusi di masyarakat seperti masjid, pos ronda, dan warung kopian adalah sarana paling efektif dalam mendiseminasikan dan membangun kedewasaan politik di tingkat masyarakat desa.
Tentunya harus ada agen pengawas partisipatif yang akan menjadi pilar pengawasan berbekal pengetahuan yang memadai untuk memberi warna dalam ekosistem politik di masyarakat.
Yang dimaksud adalah Kader sekolah pengawas partisipatif, program ini telah tersebar di hampir semua kecamatan. Mereka terdiri dari pemuda milenial idealis yang dididik oleh Bawaslu menjadi harapan untuk menyebarkan virus pencerahan varian demokratis bagi masyarakat.
Pada akhirnya, hasil yang diharapkan adalah masyarakat turut terlibat dalam pengawasan tahapan Pemilu dan pilkada serentak 2024. Setidaknya, masyarakat berani bersuara melaporkan atau memberi informasi akurat kepada Badan Pengawas apabila terdapat dugaan pelanggaran Pada saat Pemilu dan Pilkada Tahun 2023.